Saturday, May 9, 2009

Too Much...

pagi itu ia terbangun, kelaparan.
seperti biasa ia menyalakan komputernya dan memulai rutinitas.
hingga pukul 12 siang pun makanan tidak tersedia.
tubuhnya sudah lesu, lemas, dan kelaparan.

ia tidak lagi marah. ia menahan amarahnya karena ia tahu ia salah kalau marah.
ibunya sudah hampir 50 tahun. sudah saatnya digantikan anak-anaknya.
maka dari itu ia menahan marahnya dengan makluman.

ia bergerak ke dapur untuk memasak makanan untuknya sendiri
ia suka telur dadar garing yang dimasak selama 20 menit dengan api kecil.
selagi ditinggal menunggu masak, baru setengah jalan,
setan kecil itu muncul kelaparan juga dan mengambil alih wajan itu darinya.

telur dadarnya yang belum masak itu diangkat dan diletakkan di atas piring dan digunakanlah olehnya wajah yang sedang dipakainya untuk memasak.
tentu saja ia tidak terima dan mendatangi dapur untuk meneruskan masaknya.
terjadi perebutan kecil di dapur. karena lemas kelaparan, ia tak mampu membentak.
membiarkan dirinya dibentak-bentak oleh si setan kecil.

akhirnya setan kecil kalah dan diusir dari dapur.
setan kecil menangis-nangis mendatangi setan besar di liangnya.
setan kecil dan setan besar kemudian memaki-makinya sepuas mereka.

ia hanya bisa mengomel sambil membolak balikkan telur dadarnya yang akan matang.
"kenapa aku terus yang disalahkan? aku masak ia merebutnya, lalu aku yang salah?
kau minta padaku uang melahirkan aku. kau minta aku membayarmu karena jasamu melahirkanku ke dunia.
memangnya apa yang kudapatkan di dunia ini akibat perbuatanmu yang akhirnya melahirkanku ke dunia?
yang kudapatkan tidak lain adalah penderitaan, kesengsaraan, dan salah paham!
kesedihan menjadi sahabat sejiwaku.
hanya karena aku hampir tidak pernah bicara atau memprotes,
lantas semua orang salah paham padaku seenak perut mereka?
lagi-lagi aku hanya bisa diam! aku cape membela diri, terlalu banyak salah paham.
aku sudah mendiamkan kalian, kenapa kalian tidak mendiamkan aku?"

bahkan saat bicara demikian, setan kecil dan besar itu menertawakan dia.
kemudian telurnya matang dan ia mengambil nasi untuk disantap.
kemudian ia masuk ke dalam kamar, menutup pintu, (lampu kamarnya selalu padam)
dan duduk di atas kasur.

disana, ia menyantap makanannya sambil menangis karena luka batinnya yang tak kunjung usai, tanpa suara.

tak pernah ada yang tahu kapan ia menangis, karena ia tak pernah bersuara saat menangis. sesedih apapun kasus yang ditangisinya itu. pemakaman neneknya yang sangat mencintai dan dekat dengannya itu pun, ia sama sekali tidak bisa menangis.

terlalu banyak salah paham.
terlalu banyak negatif thinking.
apapun yang ia lakukan, tak pernah cukup.
maka dari itu ia enggan menunjukkan taringnya.
namun karena ia enggan menunjukkan taringnya, mereka kembali menyalahkannya dan menuduhnya sebagai orang yang tidak mampu berbuat apapun yang berguna.

dalam hati ia bersumpah untuk membalas dendam.
ia bersumpah takkan melupakan semuanya.
akan tetapi ia tahu dari pengalaman yang sudah-sudah,
ia akan lupa. semua perasaan dan ingatan itu akan hilang,
sehingga ia takkan bisa menggunakan kasus tadi sebagai bukti betapa mereka memperlakukannya sedemikian jelek. karena semua telah ia lupakan.
termasuk luka batin itu. semua telah ia tekan ke dalam jiwa bawah sadarnya.
menambah luka lama yang masih menganga.

ia menunggu orang datang untuk menyelamatkannya.
ia tahu cara menyelamatkannya adalah dengan cara menyelamatkan keluarganya dulu.
akan tetapi orang-orang yang datang itu tak mau mendengar.
mereka tidak percaya padanya. dan sebaliknya menganggapnya yang harus ditolong duluan.
betapa bodoh para penolong itu?
ia tidak membutuhkan mereka.

ia sudah sampai tahap membuang semuanya.
hingga suatu saat, bila mereka hendak minta maaf padanya sambil bersujud,
ia tidak yakin ia bahkan mau memandang mereka.

========================================================================
tak ada adegan yang lebih menyedihkan daripada melihat seseorang menyantap makanan sambil menangis tanpa suara dalam kamarnya yang kecil, gelap, pengap dan berantakan.